B E N T E N G

BENTENG
Titik Embun untuk Nusa Pustaka & Museum Bahari

Jauh sebelumnya atau kurang lebih 7 tahun yang lalu di kota Jogja sebagai Ibu rantau & kampung halaman ke 2. Sudah terbangun imaji, mimpi-mimpi dan tulisan serta sketsa bangunan ruang bernama “Uwake” yang dirancang sebagai suatu ruang pengembangan kebudayaan, khususnya gerakan-gerakan kesenian yang  sinergitasnya  terbuka pada bidang-bidang lain. Meski ruangnya kecil dan sederhana namun meluap rasa kebahagiaan setelah berdiri serta mengisi hari-hari bersamanya beserta segenap teman-teman sekampung yang seharmoni.                                                                        
Segala titik proses kita panjati dan arungi dalam rentang waktu yang kita sendiri tak tahu kapan klimaks serta ending, sudah berapa materi kita upaya banting tulang dan peras keringatkan, entah sudah berapa energi yang dipompa dari seluruh badan ke institut otak baik yang disimpan di memori, spontanitas, imajinasi dan lain sebagainya. Kalau diselami, Memang bejibun kata syukur tidak akan cukup untuk itu semua. Begitu amat bermakna, satu langkahpun sejuta cakrawala.
Jelasnya duka dan puncak-puncak bahagia sudah berulang kali dilalui, dan menjaga “benteng” jangan sampai pasukan virus “kalah dalam kehidupan” membobol dari arah manapun.

Dizaman kolonial benteng begitu populer dan merupakan ruang atau medium pertahanan dari musuh. Didalam benteng kita bermukim, menyusun strategi untuk bertahan hidup dan melancarkan serangan-serangan.
Pada sisi yang lain secara pertahanan, benteng bisa diadopsi kedalam ranah pergerakan kebudayaan yang kian mudah tembus dari segala macam arus pengaruh dan perkembangan kebudayaan kontemporer yang tidak berbasic pada perspektif akar konsepsi pergerakan.
Hemat saya, Nusa Pustaka & Museum Bahari adalah salah satu benteng diantara benteng-benteng kebudayaan lainnya yang khusus menyiapkan laskar-laskar literasi dan kemaritiman diIndonesia pada umumnya dan Mandar Khususnya. Baik secara pribadi maupun komunal kita mesti membangun benteng-benteng dan didalam benteng tersebut berbagai media dieksplor yang dapat menyokong transformasi ilmu dimana terbuka berbagai kemungkinan pelestarian dan pengembangan kebudayaan nusantara berbasic keMandaran.

Sebagai sesuatu benteng, Nusa Pustaka & Museum Bahari harus selalu siap sedia  parang, kondo wulo, keris dan tombak serta yang penting pula stok bahan makanan demi kelangsungan gerilya. Dalam hal ini tentu adalah buku-buku, piranti atau parewa pamer bahari seperti perahu sandeq dan perahu-perahu lainnya baik sebagai miniatur maupun bentuk asli, ruang baca yang rileks, rak-rak buku, data base, manajemen benteng, promo, agenda kegiatan, hubungan dalam dan luar negeri, mitra kerja sesama benteng khusus pada penstok pangan  & SDMnya. Satu diantara saja ini terlewatkan akan memperlemah kekuatan benteng dan hanya akan menjadi kekuatan semu dari perpanjangan kekuatan-kekuatan  diluar sana.

Ketekunan, disiplin harus terus dipupuk untuk upaya kemandirian total atau katakanlah berdikari (berdiri diatas kaki sendiri) meski tidak berdiri sendiri betul karena ada istri dan teman-teman lainnya yang saling menyangga seperti As’ad Sattari, Urwa dll.
Harapan saya kedepan, semoga kelahiran benteng ini secara bertahap kokoh dan pada perkembangannya selalu mawas. Sebagaimana sejarah benteng galung Adolang dimasa perjuangan I Calo Ammana I Wewang & Ammama I Pattolawali bobol dari belakang melalui jalan rahasia sehingga serdadu belanda lolos masuk memporak porandakan pertahanan yang sedemikian kuatnya.

M.Rahmat Muchtar
Tinambung, desember 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PILIH-PILIH MEMILIH PEMILIHAN

BUKU