BUKU

B U K U
(Belukar asa untuk Amru, Hamzah dan Evo)  

Perkenalan terhadap buku tidak begitu banyak terekem dimemori saat duduk di TK. Yang kuat tersisa adalah diantar jemput naik becak bersama anak-anak lainnya. sekitar tahun 75 keatas, di Tinambung waktu itu mungkin hanya satu dua becak yang beroperasi. Padahal di Jakarta dan Pulau Jawa pada umumnya sudah sesak.
saat memasuki era SD, buku-buku bacaan di sekolah lumayan adalah. termasuk buku-buku luar sekolah yakni buku bergambar tentang NERAKA. melihat dan membacanya takut campur tawa.
                 
Memasuki babad SMP, baru terasa sadar bahwa buku-buku melingkupi hidupku. karena kebetulan bapak guru fisika di SMPN I Tinambung, maka pelak bertumpuk buku-buku tebal fisika, biologi dan ilmu-ilmu alam lainnya yang terkadang bila suntuk sempat membuka-buka dan membaca seadanya. justru lebih suka melihat gambar-gambarnya. disamping buku-buku bacaan sekolah, juga bertumpuk sisa kertas lembaran ujian siswa/i SMP. andai waktu itu sudah ada yang nimbang kertas untuk dibeli, so pasti selalu banyak tambahan uang untuk belanja di luar bersama teman-teman. asyik.

Kalo tidak salah ingat waktu di SMP sudah banyak pula buku pelajaran yang bisa kita beli, mulai dari biologi, pendidikan sejarah, seni - keterampilan dll.
oh ya, apa yang dikisahkan oleh pak Nurdin Hamma tentang beberapa toko buku pada tahun 70 an yang lahir mewarnai aktifitas intelektual khususnya di Tinambung, tapi saya hanya ingat Toko buku Alif yang ada di dekat SD 01 Tinambung sebab beberapa kali saya diantar bapak untuk beli buku-buku pelajaran dan perlengkapan sekolah. Saya begitu ingat sebelum beli buku, kami mampir dulu ke Koperasi guru yang lengkap dengan mesin fhoto copynya. Pikirku asyik juga karena selalu bisa ambil perlengkapan apapun di Koperasi guru tersebut.

Di zaman SMA, lebih terasa lagi mengenal tentang yang bernama buku. Terutama majalah dimana Suara Hidayatullah bertumpuk di rumah karena bapak langganan majalah tersebut. Rasa kritis terhadap segala sesuatu perlahan menjalar dalam diri.
Diakui atau tidak buku memang sangat mampu membentuk pola pikir dan inspirasi seorang manusia. Di masa ini tentu Teater Flamboyant sudah lahir beberapa tahun yang lalu dan saya tidak tahu dan belum pernah mendengar cerita tentang apa dan bagaimana awal kelompok tersebut lahir, apalagi tentang nama Bang Ali Syahbana. Sama sekali saya belum mendengarnya. Pada titik ini beragam pengaruh lingkungan yang tak mungkin bisa dielakkan. Terlebih pada pengaruh merokok dan minum minuman keras. Aiiii, cappu tama..!

Pribadiku sangat bisa mengatakan beruntung dengan adanya wadah yang bernama Teater Flamboyant saat itu, yang kebetulan orang-orang aktif didalamnya 95% keluarga dekat semua dari garis ibu. Masa itu Flamboyant sudah lahir dan umur mudaku yang baru merangkak, sempat bersaksi saat masa Amru Sa’dong telah senja menjadi ketua kelompok yang berlabel bunga itu. Jujur saya kisahkan bahwa yang beranam Buku, majalah dll begitu melingkupiku.

Dilorong kecil jalan berbatu berseblahan jalan poros, disitulah terletak rumah kecil Amru Sa’dong yang kebetulan ibunya sebagai guru mengaji saya, selalu mencuri-curi membaca catatan pinggir Goenawan Muhammad yang beliau klipping dengan baik. Entah dari mana dapatnya. Pasca itu atau setelah saya mahasiswa di Jogja, selalu saya berupaya menangkap reviuw pemikiran bahwa sugesti dan dasar apa mereka khususnya Amru Sa’dong yang nota bene bukan mahasiswa rajin mengoleksi tempo terutama catatan pinggir Goenawan Muhammad. Dahsyat pikirku. Dalam artian bahwa aktifis-sktifis muda kesenian tempo itu yang jauh dari pusat apalagi masih dalam wilayah prov. Sulawesi Selatan mempunyai kepedulian membaca yang kuat meski tidak semuanya, karena masing-masing mempunyai kapasitas serta potensi pribadi yang khas dalam kebersamaan mereka mengelola pergaulan melalui kelompok tetaer. Dari Amru Sa’dong saya mendapatkan berbagai kecakapan berbicara, mengutarakan pendapat dengan kritis serta kreatifitas berkarya khususnya pada puisi dan teater. Thanks to buat sahabat dan guruku. Ada waktu lowong secara pribadi saya akan memberikan penghargaan khusus yakni melukis wajahmu. Gratis..! tapi jangan ditagih ya, huahahaaaa...

Seiring berjalannya waktu, pada masa itu pula (SMA) Hamsah Ismail yang memegang tampuk kepemimpinan Teater Flamboyant. Buku-buku yang melingkupiku di periode ini agak beda lagi sebab lain ladang lain belalang atau lain lubuk lain ikannya. Pada titik inilah saya ingat betul Hamzah Ismail (ketua ke dua Teater Flamboyant) memperlihatkan padaku buku (yang bisa dianggap buku terlarang dizamannya) yakni “Catatan Harian Ahmad Wahib”. Kalo tidak salah ingat buku itu diberikannya padaku dan kulahap dengan pikiran bebas merdeka. Tanggung jawabmu pak Hamzah, hihiii.

Pasca SMA atau pas masa mahasiswa di Jogja, baru banyak kutahu bahwa buku itu menjadi istimewa dan langka dikoleksi bagi para penggerak pembaharu mahasiswa Islam terutama di Jawa tengah dan timur. Bagaimana tidak pemikiran-pemikiran Ahmad Wahib waktu itu begitu menukik, polos, kritis dan kontroversial di jagat pembaharu pemikiran islam disamping Nurcholis Majid dan kawan-kawan Wahib lainnya. Buku itu hilang melayang karena dipinjam tak kembali oleh teman. 2 – 3 kali saya selalu membeli buku itu di pasar loak buku Jogja (shoping) tapi selalu hilang dan sampai kini saya selalu memesannya keteman di Jogja tapi katanya sudah tidak ada di pasaran. Ah, buku mungil kecil dengan sampul warna hijau bergambar kepalan tangan.  Semoga dapat ku koleksi lagi sebagai khazanah dan sumber kajian masalah yang terjadi dikekinian.

Dari tumpuan pengalaman itu kembali saya penasaran mengurai bahwa dari mana Hamzah Ismail mendapat referensi buku tersebut, dimana mereka tidak bergumul dalam belukar aktifitas kampus atau menjadi mahasiswa yang kutu buku. Nampaknya wajarlah bila aktifis kesenian atau katakanlah kebudayaan tempo itu di Mandar tidaklah ringan atau sekedar hadir menjadi pelengkap atau buntut dari makro pergerakan khususnya di Sulawesi Selatan dan umunya di Indonesia. Bayangkan ini di kecamatan kecil Tinambung lho. Sebab salah satu indikatornya adalah referensi buku yang mereka lahap. Sama seperti Bung Karno Muda, Hatta Muda, Tan malaka muda, Sutan Takdir muda, Nurcholis muda, Chairil muda, Jassin muda dlsb yang muda.
Salut dan terima kasih saya ucapkan khusus tuk Hamzah Ismail yang telah torehkan ruang kreatif tersendiri dalam hutan lindung hidupku. Sama dengan Amru, dalam waktu yang tepat saya akan kadokan sebuah karya lukisan wajahnya. Tolong jangan di tagih ya, hanya itu insya Allah yang aku mampu. Hehe.  
                                                      
Ada betulnya saya pikir, karena yang membedakan adalah kondisi dan ruang/tempat pergerakan yang berbeda. Coba andai waktu itu Kelompok Teater Flamboyan berada dititik pusat pergerakan kebudayaan Indonesia, saya bisa pastikan bahwa Pak Amru tak akan kalah imajinasi umpama seangkatan dengan Marah Rusli sang pengarang Siti Nurbaya, Pak Hamzah Ismail tak akan mau kalah unggul dengan Sutan Takdir sang pendiri dan pemimpin majalah Pujangga Baru, sebagaimana beliau berhasil lahirkan & layarkan Mandar Post bersama teman-temannya yang lain.

Atau Evorandow (Abd.Rahman Karim/papa Hudaer) tidak akan kalah retorika dan gaya dengan aktor Alex Komang serta aktor seniman ganteng lainnya, Tammalele pasti akan lebih condong populer dibanding Utuy Tatang Sontani, Acep Zam-zam  dan Romo Mangun Wijaya atau bahkan Aidit sang tokoh PKI. Karena akan kesulitan untuk figur seperti Cokroaminoto. Huahahaaaa.....! kelakar dikit A’ba.
Tappa ndammo na mibengang Batu..! hihi.
Eeh hampir lupa, juga pak Nurdin Hamma saya ramalkan pasti tidak akan kalah gaung dengan sang Paus Sastra Indonesia yakni HB. Jassin. Nah, kalo orang tua kita yang satu ini – level dengan Cokroaminoto bisalah. Kuat membaca dan dampingi generasi. Layaknya antara sang guru politik Cokro dengan Sukarno muda.
        
Namun, nampaknya seluruh tempat dan ruang ternyata tidak mesti berkubang pada satu kubangan untuk semua potensi inzani. Mesti ada yang menjaga dan merintis harapan di sudut lain dan ada pula yang mengisi dan bermanfaat di ruang waktu dan sudut tertentu. Dimana kaki di pijak disitu langit di junjung. Itulah tepatnya gambar peta keberdayaan tiap potensi manusia di hidup.

Seterusnya, buku - buku tidak hanya melingkupiku. Tapi sepertinya saya telah berenang diantara pengaruh arus perkembangan, busa wacana dan beragam buku dengan masing-masing topik dan tema yang saling selip menyelip diantara kehausan akan keingintahuan serta ingin berbuat yang terbaik untuk negeri ini serta Mandar.”
Disamping itu, ada pasokan-pasokan ilmu atau Pa’issangang (bahasa Mandarnya) yang tentu layak diapresiasi dan dihargai mesti tidak dalam berupa proses pergumulan mediasi buku, yakni taktik-taktik dan strategi me lhoby orang atau katakanlah pemerintah bila ada suatu kegiatan kesenian serta mengungkapkan kata-kata kunci untuk merayu seorang perempuan.
Saya mau tuliskan bahwa Evorandow lah suhunya. Ia dengan sombong dan percaya diri selalu mngkhotbai saya tentang hal tersebut. Evo nampaknya tidak banyak transformasi pengalamannya melalui buku, tapi mungkin ada ilmu sossorang tersendiri yang ia warisi atau ia dapatkan dari hasil pergumulan pergaulan selama di Komunitas Flamboyant. Tentu ada pengaruh karena didalam aktifitas teater selalu atau wajib untuk melingkar berdiskusi, berhadapan dengan masyarakat, pemerintah serta segala kendala dihadapi. Saya selalu ingat dengan kata-kata yang handal ia keluarkan bila di cap sesuatu oleh perempuan, yakni : “itu bukan budaya saya de”
I ri riiiii... ehm. Sungguh..! awal pubertas saya kata-kata itulah yang sering saya lontarkan pula bila berhadapan dengan perempuan, tentu dengan kondisi dialog yang pas. Terkadang ketawa sendiri mengingatnya. Hehe.

Dengan pengalaman-pengalaman itu, maka saya akan mencoba menghargai hidup untuk berupaya memberikan penghargaan khusus pula pada sang Jago Gombal dengan satu karya lukisan wajahnya, entah dalam bentuk karikatur atau gaya lukisan realis. Kita lihat aja nanti. Terima kasih pula buat Evorandow, nama yang keren.

Dari tiga inzan kreatif dalam proses pematang  hidupku berhubungan dengan media BUKU, ilmu dan sejumput pengalaman di etafe tertentu. Dimana beliau-beliau adalah semuanya mantan ketua Teater Flamboyant, perintis komunitas teater di Sulawesi Barat atau sebut saja Mandar yang begitu memberikan sumbangsih dalam jagat kesenian dan kebudayaan Mandar pada zamannya sekaligus memberikan vitamin bagi pribadiku.
Ialah Amru Sa’dong ketua TF yang pertama, menyusul Hamzah Ismail ketua TF yang ke dua dan Evorandow ketua TF ketiga, dimana setelah itu Syariat Tajuddin menjadi ketua TF yang ke empat (pada sandaran rasa yang lain saya akan tulisakan juga)  . Namun dalam catatan yang berjudul BUKU ini baru fokus pada tiga karakter yang mempunyai ruang pengalaman tersendiri yang baru sempat dan mampu saya catatkan meskipun sudah sangat lama bergema didalam diri. Untuk itu saya merasa sangat bahagia karena sudah bisa mendokumentasikannya melalui catatan yang semoga dapat bernilai ibadah. Amin.

By. Rahmat Muchtar
Tinambung-Mandar, 11 desember 2015.        

  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PILIH-PILIH MEMILIH PEMILIHAN

B E N T E N G